Penulis : Ahmad Jamaluddin
Halaman : 265
Dimensi : 13,5x19,5 cm
Berat : 250 gram
Lelaki itu dikenal sebagai tukang servis arloji. Syekh Sâ’atî—begitu ia dipanggil—merupakan sosok alim penuh kasih sayang pada putra-putrinya. Ia menghabiskan hampir 40 tahun usianya untuk mengerjakan kitab al-Fath al-Rabbânî—sebuah kitab pensyarah Musnad Imam Ahmad, yang ulama sekaliber Ibnu Katsîr sekalipun belum berhasil melakukannya!
Syekh Ahmad Abdurrahman al-Banna, nama lengkap lelaki gigih itu. Dalam keterbatasan ekonomi, ia tetap menulis dan menulis serta menerbitkan karya prestisius itu. Kealimannya memang tidak seterkenal para ulama Al-Azhar, namun dialah yang menjembatani polemik Syaikh Rasyid Ridha dengan seorang ulama Al-Azhar. Kealimannya memang tidak untuk disebarluaskan, tapi dialah yang berandil atas kelahiran hingga pembentukan karakter putra sulungnya: Hasan al-Banna—pejuang dakwah yang namanya tetap harum hingga hari ini.
Kedekatan ayah dan anak itu tidak sekadar dalam hubungan genetis, tapi juga ideologis. Syekh Sâ’atî juga pendukung dan bagian dari gerakan yang dibentuk putranya: al-Ikhwân al-Muslimûn. Maka, sebuah perasaan kehilangan nan mengharu-biru yang amat sangat, manakala Ahmad memboyong jenazah putranya itu setelah Hasan dibunuh oleh musuh-musuh dakwah.
Seberapa dekat hubungan ayah dan anak itu? Apa motif sebenarnya dari Syekh Sâ’atî dalam menerbitkan al-Fath al-Rabbânî, padahal biaya yang harus dikeluarkan dari sakunya sendiri amatlah besar? Benarkah Kerajaan Arab Saudi (dikenal bermazhab Hanbali) pernah membeli dalam jumlah besar kitab syarah Musnad Imam Ahmad yang ditulis ayahanda Hasan al-Banna? Tapi, mengapa para dai yang mengaku pengikut mazhab Kerajaan Arab Saudi justru di kemudian hari mengecam gerakan dakwah Hasan al-Banna, padahal ayahanda Hasan sendiri tidak pernah menyesat-sesatkan putranya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar, terima kasih