Beberapa hari ke belakang, saya absen ngompasiana. Awalnya cuma satu hari, kemudian dua dan seterusnya. Saya sudah berusaha keras meluangkan waktu untuk ‘berkhalwat’ dengan laptop dan berbagi pengalaman atau pendapat dengan kompasianers. Tapi sayang, waktu yang dibutuhkan itu tak pernah ada.
Alasannya satu, sibuk. Bayangkan saja saya harus mempersiapkan dua makalah (mengenai struktur bahasa Sunda) untuk disajikan dalam sebuah konferensi internasional di Universitas Harvard. Aktivitas rutin semisal kuliah, mengajar, menggarap tugas akhir dan tentunya membantu istri serta mengasuh anak harus tetap berjalan. Tanpa jeda. Alhasil, rutinitas ngompasiana yang dikorbankan (baca: dinomorsekiankan) walaupun terasa berat karena komitmen untuk menulis tiap hari harus dilabrak.
Persiapan keberangkatan ini menjadi ekstra karena istri dan sang bayi ingin dibawa. Maklumlah karena kami tinggal di kota kecil bernama Iowa city, jadi selama ini jarang kemana-mana kecuali ke satu-satunya pusat perbelanjaan di kota atau perpustakaan. Jadi ketika ada kesempatan untuk melihat suasana di kota atau negara bagian lain, istri saya begitu semangat. Kilahnya, “Kapan lagi ke Boston kalau sudah di Indonesia?”. Apalagi kali ini perjalanan ke luar kotanya bernas–menghadiri konferensi. Pembiayaan pun dibantu oleh kampus.
Istri saya begitu intensif mencari informasi. Dia bertanya kesana kemari–tetangga, teman dan internet. Misinya satu mencari tahu apa saja yang harus dipersiapkan kalau bepergian dengan bayi, terutama berkaitan dengan dokumen. Suatu waktu, ketika saya pulang kampus, dia nampak murung. Ketika ditanya, dia menjawab, si kecil membutuhkan paspor untuk bepergian sebagai identitas. Pasalnya, proses pembuatan paspor tidak secepat di negara kita. Perlu waktu paling tidak 2-3 minggu. Itupun baru estimasi, bukan jaminan pasti. Sementara keberangkatan kurang dari 2 minggu lagi.
Alternatifnya, untuk menghindari persyaratan paspor untuk si bayi, kami mencoba mencari tahu ikhwal transportasi darat. Pilihannya dua: bus atau kereta api. Setelah ‘riset’ beberapa waktu, ternyata kedua pilihan transportasi ini tidak mensyaratkan paspor. Kami pun langsung mencari tiket.
Pertama, kami coba mengecek Amtrak (kereta api). Banyak orang bilang Amtrak alternatif lebih baik tinimbang bus karena kita bisa lebih leluasa bergerak apalagi ketika pegal-pegal. Apalagi di dalam tersedia lounge, berupa ruangan khusus dengan meja kursi dimana kita bisa memesan dan menyantap makanan. Atau bisa juga duduk-duduk santai sekedar melepas kejenuhan sambil mengobrol dengan teman atau penumpang lain. Harga tiketnya pun sangat terjangkau (berkisar dari $185-229 per orang dari Iowa ke Boston). Jauh dibandingkan tiket pesawat yang kisarannya dari $350-400 per orang.
Istri pun terlihat kembali sumringah setelah mempelajari semua informasi ini. Semangatnya untuk jalan-jalan keluar kota tanpa harus dipusingkan dengan urusan pembuatan paspor si bayi kembali membara. Ketika kami pelajari pilihan rute yang ditawarkan, kami dibuat terkejut dengan lamanya waktu tempuh. Tidak tanggung-tanggung, paling tidak 36 jam kita berada di kereta. Memang ada transit, dimana kita singgah di kota lain dan mungkin bisa jalan-jalan sebentar sambil menunggu kereta selanjtnya. Tapi tetap saja 36 jam adalah waktu yang sangat lama untuk menempuh suatu tempat. Perjalanan dari Iowa ke Indonesia saja hanya sekitar 22 jam. Jadi ini 14 jam lebih lama. Istri pun kembali lemas karena Amtrak bukan pilihan rasional mengingat lamanya waktu tempuh. Apalagi saya tidak bisa meninggalkan tugas kuliah dan mengajar terlalu lama.
Pilihan terakhir jatuh ke bus luar kota. Kami coba cari tahu Greyhound, bus yang melayani perjalanan luar kota hampir ke seluruh pelosok Amerika. Dengan bus ini, waktu tempuh bisa jauh lebih pendek, sekitar 22 jam termasuk waktu transit. Hanya saja, transitnya puluhan kali di berbagai kota yang beda, untuk menurunkan atau menarik penumpang. Persis dengan bus luar kota di negara kita. Ongkosnya pun sedikit lebih murah dari pada Amtrak, dengan kisaran $149-189. Sayangnya, sepanjang perjalanan kita mesti menggendong si bayi karena stroller tidak bisa masuk ke dalam bus. 22 jam menggendong bayi, kami pikir, bukan pilihan bijak. Akhirnya, pupuslah semua harapan sang istri untuk bisa jalan-jalan ke luar Iowa.
Beberapa hari kemudian, seorang tetangga memberi tahu bahwa persyaratan paspor untuk si bayi hanya berlaku untuk penerbangan internasional. Untuk penerbangan domestik, mungkin hanya dibutuhkan akte kelahiran atau sejenisnya. Bukti bahwa kita benar-benar orang tua si bayi (bukan penjahat yang melarikan diri menculik bayi orang =). Untuk memastikan kebenaran informasi ini, istri kembali melakukan ‘riset online’. Rupanya, benar sekali apa yang disampaikan tetangga kita itu. Penerbangan domestik tidak mensyaratkan paspor. Identitas apapun bisa dipakai termasuk SIM, KTP, paspor atau akte. Istri pun langsung sorak sorai. Harapannya untuk jalan-jalan bisa jadi kenyataan.
Selanjutnya, dia ‘mengunjugi’ (secara online) berbagai agen perjalanan seperti kayak.com, priceline.com atau expedia.com. Tujuannya satu, mencari tiket termurah dari Iowa menuju Boston. Tiket termurah akhirnya diperoleh dari expedia.com dengan maskapai DeltaAir. Untuk berdua (karena bayi tidak dihitung), kami harus membayar $681 untuk tiket bolak-balik Iowa-Boston. Itupun sudah termasuk pajak dan biaya administrasi lainnya. Kami pun memesan tiket itu.
Walaupun dalam pesawat pun kami tetap harus menggendong bayi, lamanya perjalanan relatif pendek. Hanya 6 jam dibandingkan dengan 22 atau 36 jam menggunakan bus atau kereta. Istri pun langsung sibuk membuat daftar perlengkapan (terutama perlengkapan bayi) yang diperkirakan akan menyita banyak ruang dalam koper kami.
…to be continued
Boston, 5 Maret 2011, 7:33 pagi.
Alasannya satu, sibuk. Bayangkan saja saya harus mempersiapkan dua makalah (mengenai struktur bahasa Sunda) untuk disajikan dalam sebuah konferensi internasional di Universitas Harvard. Aktivitas rutin semisal kuliah, mengajar, menggarap tugas akhir dan tentunya membantu istri serta mengasuh anak harus tetap berjalan. Tanpa jeda. Alhasil, rutinitas ngompasiana yang dikorbankan (baca: dinomorsekiankan) walaupun terasa berat karena komitmen untuk menulis tiap hari harus dilabrak.
Persiapan keberangkatan ini menjadi ekstra karena istri dan sang bayi ingin dibawa. Maklumlah karena kami tinggal di kota kecil bernama Iowa city, jadi selama ini jarang kemana-mana kecuali ke satu-satunya pusat perbelanjaan di kota atau perpustakaan. Jadi ketika ada kesempatan untuk melihat suasana di kota atau negara bagian lain, istri saya begitu semangat. Kilahnya, “Kapan lagi ke Boston kalau sudah di Indonesia?”. Apalagi kali ini perjalanan ke luar kotanya bernas–menghadiri konferensi. Pembiayaan pun dibantu oleh kampus.
Istri saya begitu intensif mencari informasi. Dia bertanya kesana kemari–tetangga, teman dan internet. Misinya satu mencari tahu apa saja yang harus dipersiapkan kalau bepergian dengan bayi, terutama berkaitan dengan dokumen. Suatu waktu, ketika saya pulang kampus, dia nampak murung. Ketika ditanya, dia menjawab, si kecil membutuhkan paspor untuk bepergian sebagai identitas. Pasalnya, proses pembuatan paspor tidak secepat di negara kita. Perlu waktu paling tidak 2-3 minggu. Itupun baru estimasi, bukan jaminan pasti. Sementara keberangkatan kurang dari 2 minggu lagi.
Alternatifnya, untuk menghindari persyaratan paspor untuk si bayi, kami mencoba mencari tahu ikhwal transportasi darat. Pilihannya dua: bus atau kereta api. Setelah ‘riset’ beberapa waktu, ternyata kedua pilihan transportasi ini tidak mensyaratkan paspor. Kami pun langsung mencari tiket.
Pertama, kami coba mengecek Amtrak (kereta api). Banyak orang bilang Amtrak alternatif lebih baik tinimbang bus karena kita bisa lebih leluasa bergerak apalagi ketika pegal-pegal. Apalagi di dalam tersedia lounge, berupa ruangan khusus dengan meja kursi dimana kita bisa memesan dan menyantap makanan. Atau bisa juga duduk-duduk santai sekedar melepas kejenuhan sambil mengobrol dengan teman atau penumpang lain. Harga tiketnya pun sangat terjangkau (berkisar dari $185-229 per orang dari Iowa ke Boston). Jauh dibandingkan tiket pesawat yang kisarannya dari $350-400 per orang.
Istri pun terlihat kembali sumringah setelah mempelajari semua informasi ini. Semangatnya untuk jalan-jalan keluar kota tanpa harus dipusingkan dengan urusan pembuatan paspor si bayi kembali membara. Ketika kami pelajari pilihan rute yang ditawarkan, kami dibuat terkejut dengan lamanya waktu tempuh. Tidak tanggung-tanggung, paling tidak 36 jam kita berada di kereta. Memang ada transit, dimana kita singgah di kota lain dan mungkin bisa jalan-jalan sebentar sambil menunggu kereta selanjtnya. Tapi tetap saja 36 jam adalah waktu yang sangat lama untuk menempuh suatu tempat. Perjalanan dari Iowa ke Indonesia saja hanya sekitar 22 jam. Jadi ini 14 jam lebih lama. Istri pun kembali lemas karena Amtrak bukan pilihan rasional mengingat lamanya waktu tempuh. Apalagi saya tidak bisa meninggalkan tugas kuliah dan mengajar terlalu lama.
Pilihan terakhir jatuh ke bus luar kota. Kami coba cari tahu Greyhound, bus yang melayani perjalanan luar kota hampir ke seluruh pelosok Amerika. Dengan bus ini, waktu tempuh bisa jauh lebih pendek, sekitar 22 jam termasuk waktu transit. Hanya saja, transitnya puluhan kali di berbagai kota yang beda, untuk menurunkan atau menarik penumpang. Persis dengan bus luar kota di negara kita. Ongkosnya pun sedikit lebih murah dari pada Amtrak, dengan kisaran $149-189. Sayangnya, sepanjang perjalanan kita mesti menggendong si bayi karena stroller tidak bisa masuk ke dalam bus. 22 jam menggendong bayi, kami pikir, bukan pilihan bijak. Akhirnya, pupuslah semua harapan sang istri untuk bisa jalan-jalan ke luar Iowa.
Beberapa hari kemudian, seorang tetangga memberi tahu bahwa persyaratan paspor untuk si bayi hanya berlaku untuk penerbangan internasional. Untuk penerbangan domestik, mungkin hanya dibutuhkan akte kelahiran atau sejenisnya. Bukti bahwa kita benar-benar orang tua si bayi (bukan penjahat yang melarikan diri menculik bayi orang =). Untuk memastikan kebenaran informasi ini, istri kembali melakukan ‘riset online’. Rupanya, benar sekali apa yang disampaikan tetangga kita itu. Penerbangan domestik tidak mensyaratkan paspor. Identitas apapun bisa dipakai termasuk SIM, KTP, paspor atau akte. Istri pun langsung sorak sorai. Harapannya untuk jalan-jalan bisa jadi kenyataan.
Selanjutnya, dia ‘mengunjugi’ (secara online) berbagai agen perjalanan seperti kayak.com, priceline.com atau expedia.com. Tujuannya satu, mencari tiket termurah dari Iowa menuju Boston. Tiket termurah akhirnya diperoleh dari expedia.com dengan maskapai DeltaAir. Untuk berdua (karena bayi tidak dihitung), kami harus membayar $681 untuk tiket bolak-balik Iowa-Boston. Itupun sudah termasuk pajak dan biaya administrasi lainnya. Kami pun memesan tiket itu.
Walaupun dalam pesawat pun kami tetap harus menggendong bayi, lamanya perjalanan relatif pendek. Hanya 6 jam dibandingkan dengan 22 atau 36 jam menggunakan bus atau kereta. Istri pun langsung sibuk membuat daftar perlengkapan (terutama perlengkapan bayi) yang diperkirakan akan menyita banyak ruang dalam koper kami.
…to be continued
Boston, 5 Maret 2011, 7:33 pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar, terima kasih